Ide dasar Pancasila lahir dari Pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 dengan urutan: 1) kebangsaan Indonesia; 2) Internasionalisme atau Peri-kemanusiaan; 3) Mufakat atau Demokrasi; 4) Kesejahteraan Sosial; dan 5) Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pancasila, Proklamasi 17 Agustus 1945 dan UUD Tahun 1945 yang merupakan cita-cita bangsa saling berkaitan dan kaitan itu mengarah pada pembentukan ketatanegaraan Republik Indonesia dan segala sistem pemerintahannya.
Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan kulminasi (puncak) dari tekad bangsa untuk merdeka.
Proklamasi memuat perjuangan penegakan jiwa Pancasila yang telah berabad-abad lamanya dicita-citakan.
Selanjutnya tujuan dan cita-cita proklamasi ini tercermin dalam UUD NRI Tahun 1945 yang terbagi dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD, serta UUD NRI Tahun 1945 berlandaskan dan didasari oleh Pancasila yang merupakan sumber tata tertib hukum Indonesia.
Pada pembukaan UUD NRI Tahun 1945 terdapat dengan jelas maksud, tujuan serta alasan bangsa Indonesia untuk mendirikan suatu negara. Dalam pembukaan itu juga secara resmi dan autentik dirumuskan kelima sila Pancasila dan Pancasila sebagai falsafah negara Republik Indonesia.
Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan suatu asas kerokhanian yang dalam ilmu kenegaraan popular disebut sebagai dasar filsafat negara (Philosofische Gronslag).
Dalam kedudukan ini Pancasila merupakan sumber nilai dan sumber norma dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, termasuk sebagai sumber tertib hukum di negara Republik Indonesia.
Konsekuensinya seluruh peraturan perundang-undangan serta penjabarannya senantiasa berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.
Pancasila adalah sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia. Sebagaimana dikembangkan melalui pemikiran yang dinamis oleh para pendiri negara kita, bahwa negara Indonesia adalah negara persatuan, demokrasi yang religius, humanis dan berkeadilan sosial.
Tampaknya ide eklektis yang dikembangkan oleh pendiri negara kita merupakan suatu pemikiran yang khas. Hal ini jikalau kita bandingkan negara Indonesia dengan konsep negara liberal, negara sosialis klas, negara sekuler, ataupun negara theokrasi.
Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu sistem filsafat, sehingga sila-silanya bukan merupakan bagian yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan merupakan suatu kesatuan sistemik.
Dalam kedudukan Pancasila sebagai dasar negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, adalah merupakan suatu cita hukum (Rechtsidee), yang menguasai hukum dasar, baik hukum dasar tertulis maupun hukum dasar tidak tertulis.
Cita hukum berfungsi sebagai suatu bintang pemandu (leitstern) bagi tercapainya cita-cita masyarakat.
Suatu cita hukum memberikan manfaat karena dengan cita hukum maka kita dapat menguji hukum positif yang berlaku, melalui cita hukum kita dapat mengarahkan hukum positif ke arah suatu keadilan.
Pancasila yang di dalamnya terkandung nilai-nilai religius, nilai hukum moral, nilai hukum kodrat, dan nilai religius merupakan suatu sumber hukum material bagi hukum positif Indonesia.
Dengan demikian Pancasila menentukan isi dan bentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia yang tersusun secara hierarki.
Dalam susunan yang hierarkis ini Pancasila menjamin keserasian atau tiadanya kontradiksi di antara berbagai peraturan perundang- undangan secara vertikal maupun horizontal.
Hal ini mengandung suatu konsekuensi jikalau terjadi ketidakserasian atau pertentangan norma hukum yang satu dengan lainnya yang secara hierarkis lebih tinggi, apalagi dengan Pancasila sebagai sumbernya, maka hal ini berarti jika terjadi ketidaksesuaian maka hal ini berarti terjadi suatu inkonstitusionalitas dan ketidaklegalan, dan oleh karenanya maka norma hukum yang lebih rendah itu batal demi hukum.
Pancasila dan demokrasi
Ketika mengatakan: “...untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?” Soekarno (Presiden pertama RI) sadar bahwa antara “kediktatoran”, “oligarki”, dan “feodalisme” di Indonesia harus dilakukan penataan dalam satu kebangsaan besar bernama Indonesia.
Soekarno merumuskan bahwa kebangsaan, demokrasi, bernegara adalah bukan sesuatu yang given, tetapi sesuatu yang harus mengalami proses perubahan mendasar di dalam diri, di dalam kelompok etnik, kelompok ras, kelompok agama, bahkan dalam keluarga untuk menjadi suatu bangsa.
Pancasila adalah kebijaksanaan dan kebijakan fundamental yang meletakkan dasar dan tujuan negara.
Kebijaksanaan dan kebijakan tersebut, salah satunya berwujud hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, yang merupakan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat sesuai pemikiran para pendiri bangsa. Musyawarah dan gotong royong merupakan salah satu contoh pelaksanaannya.
Dalam praktik demokrasi dan musyawarah zaman dulu di Indonesia kurang mengenal sistem oposisi dan mekanisme voting, apalagi oposisi yang asal beda. Demokrasi di Indonesia mengenal istilah pepe di Jawa dan tilar di Bali.
Sekarang, kecenderungan praktik demokrasi di Indonesia mengarah pada sistem demokrasi liberal, mengakibatkan kelompok kritis nonpemerintah sering menyampaikan kritik asal beda, bukan kritik yang membangun untuk mencari solusi. Padahal menurut hasil penelitian di Inggris, misalnya, pemerintah dan oposisi mempunyai tujuan yang sama, walaupun strategi dan programnya bisa berbeda. Itu sebabnya ketika Perang Dunia I dan Perang Dunia II, demi kemenangan Inggris, pemerintah dan oposisi bersatu.
Oleh karena itu, oposisi yang sehat adalah yang argumentasinya selalu mendasarkan pada data dan fakta.
Menariknya, antara pemerintah dan opoisisi berusaha memecahkan masalah di masyarakat dengan metode yang berbeda. Adu argumen dan data inilah yang membawa pada kedewasaan berdemokrasi.
Konsep ini tidak dikenal di Indonesia yang menganut sistem kekeluargaan. Permusyawaratan dan demokrasi di Indonesia, jika sesuai dengan nilai-nilai Pancasila akan lebih mantap, karena merupakan intisari dari peradaban yang ada di negeri ini.
Berkaitan dengan itu, hakikat musyawarah dapat disisir kembali melalui pergulatan pemikiran Soekarno, sebagaimana disampaikan pada Sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945. Berikut rangkaian penjelasan Soekarno dalam berbagai kesempatan, seperti kursus Pancasila, kita akan mudah menyepakati bahwa secara metodologis, sila keempat, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan", dan bahkan, masing-masing sila dalam Pancasila merupakan hasil dari proses yang bersifat induktif.
Dalam proses itu, praktik-praktik empiris bermusyawarah yang berlangsung lama dan ditemukan luas dalam masyarakat Indonesia dengan setting yang berbeda-beda menjadi referensi dasar.
Musyawarah juga disebut tradisi berembuk merupakan sistem tradisional dari dialog timbal balik, konsultasi, permusyawaratan, dan pengambilan keputusan berdasarkan kesepakatan.
Dengan demikian, musyawarah merupakan abstraksi dari pengalaman empiris masyarakat Indonesia, bukan premis yang diterjemahkan secara deduksi dari dunia ide.
Soekarno menegaskan Pancasila dan juga musyawarah dia gali dari bumi Indonesia, bukan berasal dari dirinya. Setiap sila inheren dalam masyarakat Indonesia, bukan sesuatu yang diperkenalkan dari atas.
Agar dimensi operasional demokrasi di Indonesia tidak terjebak menjadi elitis/oligarkis, maka nilai dasar Pancasila niscaya dijalin dengan prinsip dasar demokrasi.
Dengan demikian, harmoni sebagai nilai dasar Pancasila yang di dalamnya juga terkandung nilai kekeluargaan, kegotongroyongan, serta kebersamaan niscaya dijalin dengan kedaulatan rakyat dan partisipasi warga negara secara berkelanjutan sebagai prinsip dasar demokrasi.
Kebutuhan untuk menjalinkan nilai dasar Pancasila dengan prinsip dasar demokrasi tersebut adalah dilandaskan pada pemahaman bahwa Pancasila merupakan ideologi terbuka yang memungkinkannya untuk diberikan nilai-nilai baru yang segar agar Pancasila tidak kehilangan nilai aktualitasnya, tanpa kehilangan nilai filosofisnya.
Apalagi perumusan kedaulatan rakyat dalam UUD Tahun 1945 (Pasal 1 ayat 2) telah terjadi pergeseran dari kedaulatan dilakukan sepenuhnya oleh MPR menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” semakin memperkuat pemikiran untuk memberi makna baru terhadap demokrasi berdasarkan Pancasila.
Pancasila dalam konteks demokrasi dapat diilustrasikan sebagai jiwa bangsa yang tercermin dalam asas-asas hukum adat sebagai manifestasi nilai kekeluargaan.
Konsekuensi cara berpikir ini membuat kita memeriksa kembali dengan seksama berbagai praktik yang terjadi dan mewakili, sekaligus mengekspresikan gagasan musyawarah dalam pengalaman konkret masyarakat, terutama di Bali.
Salah satu contohnya adalah Sangkepan, tradisi yang dilaksanakan di desa adat dan banjar-banjar di Pulau Dewata. Dalam Sangkepan, sistem voting kurang dikenal dalam praktik musyawarah Bali kuno.
Prinsip musyawarah mufakat dalam Sangkepan, terutama berkaitan dengan tata kehidupan adat, budaya dan agama di masyarakat Bali.
Pancasila dan ekonomi
Indonesia sedang menghadapi sebuah pembelahan besar. Pembelahan tersebut bukan seperti yang digambarkan oleh media sosial, antara pendukung dan pembenci.
Pembelahan yang saya maksud adalah realitas ketimpangan sosial yang memisahkan kelompok minoritas elite bisnis-politik dengan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Dalam perjalanan Indonesia, cita-cita kemerdekaan politik dan ekonomi, demokrasi dan keadilan sosial tersimpan dalam mentalitas kebangsaan kita, dan muncul ke permukaan dalam titik-titik persimpangan arah perjalanan Indonesia.
Soekarno menegaskan, "Demokrasi yang kita kejar jangan hanya demokrasi politik saja, tetapi kita juga harus mengejar pula demokrasi ekonomi."
Keadilan sosial merupakan hal yang terpenting guna mencapai suatu masyarakat yang berkemakmuran dan berkeadilan.
Keadilan sosial dalam semesta pemikiran Soekarno adalah kritik paling besar terhadap kapitalisme.
Pemikiran Soekarno akan kemandirian bangsa teraktualisasi dalam nilai keadilan ini atau yang dikatakan Soekarno sebagai sosio-demokrasi, yakni demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, yang kedua kakinya berdiri dalam masyarakat.
Pertanyaannya, apakah keadilan sosial sesuai Sila ke-5 Pancasila sudah terwujud?
Pancasila mengakui dan melindungi, baik hak-hak individu maupun hak masyarakat, yakni di bidang ekonomi maupun politik.
Ideologi Pancasila mengakui secara selaras, baik kolektivisme maupun individualisme. Demokrasi yang dikembangkan bukan demokrasi politik semata, seperti dalam ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi.
Dalam sistem kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha.
Sementara dalam sistem sosialisme-komunis, negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara.
Dengan demikian, Pancasila hadir sebagai sintesis antara negara kapitalisme-liberal dan sosialisme-komunis.
Dalam hal ini Soekarno mengemukakan, "Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya."
Namun, kita mendirikan negara "semua buat semua", "satu buat semua, semua buat satu".
*) Dr. I Wayan Sudirta, SH., MH adalah anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan.
**) Artikel ini disampaikan pada Kuliah Umum di Kampus Universitas Brawijaya, Malang, 30 Juni 2024
Copyright © ANTARA 2024